PONTIANAK (Kalbar), Tuahnewsupdate.com Di Indonesia sebagai negara demokrasi yang sekaligus sebagai negara hukum telah menjadikan media sebagai salah satu pilar demokrasi guna menjadi corong Masyarakat dan juga menyampaikan berbagai informasi terkait kebijakan Pemerintah termasuk dalam kontek penegakan hukum.

Oleh karena itulah maka Pemerintah telah membuat regulasi memberikan perlindungan dan sekaligus sebagaia rambu-rambu terhadap keberadaan media sebagai pilar demokrasi.

Oleh karena itu menurut Dr. Herman Hofi Munawar selaku Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Kalbar menjelaskan, pemberitaan media pada prinsipnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang pada pokoknya untuk menjamin kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi.

“Berdasarkan Undang-Undang ini, jurnalis atau media tidak dapat dipidana hanya karena konten pemberitaan, selama pemberitaan tersebut mematuhi kode etik jurnalistik dan tidak melanggar hukum tertentu,” ungkapnya pada hari Jumat (25/04/2025).

Lanjutnya, media yang menyampaikan informasi terhadap perilaku pejabat tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Pemberitaan tidak dapat dianggap melanggar hukum, misalnya pemberitaan dikait-kaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Thn 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Ini diasumsikan menyebarkan informasi yang merendahkan kehormatan seseorang dengan sengaja (Pasal 27A), atau dianggap menghambat proses penyidikan yang dilakukan APH. Jika pemberitaan dianggap tidak sesuai fakta, maka mekanisme telah diatur yaitu melalui mikanisme hak jawab atau pengaduan ke Dewan Pers, bukan langsung ke ranah pidana,” tambah Herman Hofi.

Menurutnya, Dewan Pers berperan menangani sengketa pemberitaan untuk mencegah kriminalisasi jurnalis.

“Jadi, secara umum, pemberitaan media tidak bisa dipidana selama sesuai dengan Undang-Undang Pers dan kode etik, tetapi pelanggaran hukum tertentu dapat membuka celah proses pidana. Untuk kasus spesifik, perlu diperiksa konteks dan bukti pelanggarannya,” jelasnya lagi.

Dalam kontek pemberitaan terhadap suatu kasus lanjutnya, yang sedang di tangani APH tidak dapat dimaknai sebagai obstruction of justice karena adanya pemberitaan yang dianggap “negatif”.

Pemberitaan “berita negatif,” bagi pihak terkait merupakan suatu kritik sebagai bagian dari fungsi pers yang dijamin UU Pers. APH tidak boleh menciftakan iklim ketakutan bagi jurnalis. Apa bila ada persoalan terkait pemberitaan sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui mekanisme etik di Dewan Pers, bukan diselesaikan melalui pidana.

Jadi tegasnya tidak boleh terjadi adanya kriminalisasi pers dengan bungkus penegakan hukum, yang dapat mencederai demokrasi karena pers adalah pilar keempat demokrasi.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah mengatur bahwa sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan langsung ke ranah pidana. Pemberitaan negatif bagi instansi Pemerintah termasuk APH merupakan bagian dari suara rakyat dengan demikan APH tidak boleh melakukan pembungkaman, dimana jurnalis atau media menjadi takut mengkritik institusi penegak hukum.

“Ini membahayakan kebebasan pers, yang merupakan elemen kunci demokrasi. Kecuali ada persoalan personal bukan dalam kontek pemberitaan melainkan karena dugaan permufakatan jahat. Bahwa kerja-kerja jurnalis dilindungi Undang-Undang jika terjadi sengketa pemberitaan ada mikanismenya yaitu hak jawab atau diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan menakut-nakuti jurnalis dengan ancaman pidana,” tutupnya.

Sumber : Dr. Herman Hofi Munawar

Editor : Birong Hutagaol